Walaupun Semiskin Kunang-kunang

Malam sedang berkemas-kemas, sementara pagi belum lagi datang. Jalan-jalan besar dan pusat-pusat keramaian malam hari di ibukota negara yang sedang bergeliat tak tentu arah ini, pada waktu itu, telah menjadi begitu sepi, ditinggalkan, seolah-olah mengalami keruntuhan dari masa-masa jayanya yang masih lekat di ingatan karena belum lama berselang. Tempat-tempat itu segera menjadi begitu murung, seolah larut di dalam pikirannya masing-masing, tersedu-sedan demi meyadari bahwa sesungguhnya mereka tidaklah sehebat, semegah, sebrilian itu. Mereka tersadar bahwa tidak peduli terkesan sehebat apapun mereka, tetapi mereka tak ubahnya seperti pramuria yang glamour, bertarif setengah miliar, beredar di antara tokoh-tokoh hebat dari kalangan atas, kadangkala sangat-sangat diinginkan, tetapi, selepas itu, tak pernah ada yang pulang kepadanya. Dia dipuja-puja, orang melaksanakan ekspektasinya kepada mereka, lalu, setelah semuanya selesai, mereka ditinggalkan sendiri, murung, jauh dari citra setengah miliarnya dan tersadar, apa arti semua ini, ketika tidak ada yang pulang kepadaku? Ini sama halnya dengan situs-situs pembangunan yang hebat itu. Lima puluh miliar dihabiskan dalam satu malam di tempat itu. Pada awalnya, pengunjungnya seolah rela meninggalkan rumah-rumah mereka di waktu-waktu yang tak pantas untuk bepergian, hanya untuk menemui tempat-tempat itu yang lebih menggiurkan. Tempat-tempat itupun menjadi bangga, lihat siapa saja penghuniku, katanya. Orang-orang hebat tolol berkumpul di situ, sedemikian rupa sehingga seandainya mereka dapat bersepakat untuk mengambil-alih dunia, tentu mereka dapat mewujudkannya. Dan betapa mengagumkannya pula, begitu banyak orang-orang semacam itu berkumpul hanya di satu tempat yang cemerlang itu. Tetapi, belum sempat tawa itu dinikmati sampai puas, sekonyong-konyong orang-orang gila itu menjadi waras, teringat bahwa mereka sudah mulai butuh pulang, ke rumah mereka yang sebenarnya, tempat di mana terdapat bermacam-macam hal yang biasa sekali dan membosankan–rice-cooker, oven, tempat tidur dan lemari buku–, sama sekali bukan tempat yang spektakuler seperti tempat itu. Secepat kejayaan diraih oleh tempat itu, secepat itu pula Ia lenyap, nisbi, tak berbekas, tak bisa dianggap berarti. Ketika diingatkan tentang hal ini, yang selalu mereka ingkari, tiba-tiba saja mereka menjadi mual…dan pada akhirnya semua orang, tanpa kecuali, muntah. Wajah-wajah pias yang baru saja muntah amatlah mengibakan. Seorang lelaki, seolah-olah sosok diriku sendiri, menengok ke arah bak sampah besar di mana terdapat seekor kucing sedang menikmati makanannya. Bahkan kucing miskin itu tampak lebih gagah dan angkuh di matanya, ketimbang wajah-wajah itu. Tempat-tempat hebat itupun mengutuk dirinya sendiri karena telah ditakdirkan untuk terperangkap di dalam tubuh bisu yang saban malamnya mengalami kejayaan, sekaligus kejatuhan, nelangsa ibarat seorang lelaki yang patah hati, karena tak ada seorangpun yang berpulang kepadanya.

Aku sendiri tak pernah mengunjungi tempat itu. Tetapi, pada waktu itu, ketika di persinggungan hari itu aku mendusin di kamar sewaku, aku merasa, entah bagaimana, seolah-olah aku baru pulang dari tempat semacam itu. Baru dua setengah jam aku tertidur, padahal tadinya aku merasa lelah sekali. Aku terbangun dengan amat tiba-tiba, sehingga tak sempat merasakan peralihan dari bermalas-malasan hingga siap untuk bangkit, tak ubahnya seperti orang yang bangun kaget dari sebuah mimpi buruk. Bedanya, aku tak berkeringat sama sekali. Kulirik jam tanganku, langsung kutahu bahwa malam dan pagi sedang saling menunggu. Malam sudah amat bosan, sehingga Ia berharap pagi datang lebih cepat, sementara pagi sedang mencari-cari alasan untuk mangkir. Sungguh keadaan yang sepi. Dunia seolah tak bertuan, seperti sepasukan tentara yang kehilangan komando dan tak tahu harus bagaimana. Gamang. Bingung. Ketika aku bangkit, aku berpikir untuk menyalakan lampu, tetapi sesuatu yang emosional dan tidak jelas menghalangiku. Akhirnya, kubangkit dalam cahaya temaram. Kubuka kunci pintu kamar dan kudengar suara kunci membuka, ‘klek’. Tiba-tiba aku mendapat firasat bagus yang berasal dari menariknya bunyi kunci itu membuka. Dari semua suara yang dimungkinkan, mengapa harus, ‘klek’? Oh, indahnya, sungguh suara yang paling memesona bagi suatu kunci untuk membuka! Suara itu adalah seorang gadis kecil di dini hari, membuka kulkas dan melahap entah cokelat, strawberry atau pudding vanilla yang bukan jatahnya, lalu dengan langkah-langkah kucing berusaha kembali ke kamarnya, menyusuri bagian–bagian rumah dengan hati-hati, dengan kesunyian mutlak di latar belakangnya. Suara yang nyata dan kesunyian saling bercampur, sehingga menghasilkan ketidaktentuan di dalam perasaan manusia. Setelahnya, kususuri koridor sempit untuk membuka pintu beranda di lantai tiga ini. Aku berdiri di beranda itu, membiarkan diriku ditampar-tampar oleh angin dini hari yang penuh semangat, tetapi di wajahku itu semua terasa sebagai pengganti sebuah belaian dari sang kekasih, yang pada waktu itu tak mungkin didapatkan oleh seorang lelaki setengah sebatang kara di kota besar. Tiba-tiba aku jatuh cinta kepada saat itu. Tiba-tiba aku menyukai fakta bahwa aku adalah satu-satunya orang yang masih bangun dari semua penghuni bangunan empat lantai ini. Aku sendirian di beranda itu, begitu bebas memikirkan dan melakukan apapun yang kuinginkan. Agak jauh di sudut sana, dengan menyempil, aku diam-diam menyaksikan diriku melakukan berbagai hal kecil untuk menikmati dunia pada dini hari, tanpa kusadari. Akupun menjadi larut ke dalam intipan diam-diamku terhadap hal-hal kecil yang memesona yang kulakukan di beranda sana. Tiba-tiba aku teringat kepada novel Irving Krachmar, seorang Muslim dari bangsa Yahudi, tepatnya bagaimana dia menggambarkan seekor kunang-kunang mencari Tuhannya. Dia terbang dari satu lentera ke lentera lain, hingga mencapai bulan–lentera terbesar–sambil mengobral kata-katanya yang amat cerewet, ‘Tuhan, Tuhan, apakah dirimu di sana? Kunang-kunang mencarimu sejak sore dan membawakan untukmu Lemon Tea’. Akupun juga jadi ingin minum Lemon Tea bersama Tuhan, sambil pada akhirnya menceritakan semua hal paling sejati yang selama ini kusimpan. Ketika kunang-kunang sudah sampai bulan, Lemon Teanya sudah tak terlalu dingin. Ternyata itu adalah Ice Lemon Tea! (Soal Lemon Tea, lentera dan bulan ini datang dari interpretasiku saja, tetapi terinspirasi dari novel Irving Krachmar dan ilustrasi, verbal maupun visual, di dalamnya)

Karena sebab-sebab itu dan yang lainnya, air mata mengembang di bendungan mataku, seperti akan segera menjebolnya. Ke dalam jiwaku yang kerdil dan rapuh, berjatuhan berbagai hal secara berkelimpahan, sehingga tak sanggup aku menanggungnya. Aku cukup sulit untuk menangis, padahal harusnya aku adalah orang yang cukup peka. Ini, sebagiannya, disebabkan karena paradoks-paradoks di dalam diriku, sebagaimana pada diri semua orang, karena sekalipun aku adalah orang yang peka, aku juga agak menyukai perkelahian. Setidaknya, ide tentang berkelahi dengan orang yang cocok untuk dilawan, membakar suatu bagian dari jiwaku. Daftar mengenai perkawinan-perkawinan yang paradoksal ini, di dalam diriku, bisa amat diperpanjang, tetapi cukuplah digambarkan bahwa bagian yang keras dari jiwaku telah ditempa menjadi sebuah pedang tajam, sedangkan bagian yang lembut sudah diolah menjadi kue Muffin dengan kismis yang, tidak perlu dikatakan lagi, sudah ditakdirkan untuk menjadi begitu lezat. Oleh karena itu, perkiraanku tidak meleset. Air mata itu hanya mengembang saja, dan urung menganak-sungai dengan dramatis, nangis bombay, melintasi padang-padang di pipiku. Akan tetapi, hatiku tetap saja menangis, sehingga dia disuburkan olehnya. Aku kembali memerhatikan keadaan dunia manusia.

Kini aku sudah terbangun, bahkan hatiku sudah lebih terbangun lagi. Tetapi, sejam yang lalu, mana kutahu apa yang terjadi? Bulan purnama, lampu-lampu kota entah mengapa menjadi lebih temaram sehingga bintang-bintang–yakni gadis-gadis zaman dahulu yang memandang pingitan adalah takdir mutlak yang manis dari para gadis–menjadi sedikit tidak sopan untuk berani menampakkan dirinya. Tidak satu atau dua, tetapi lebih dari selusin. Pemandangan dan suasana lebih daripada sekadar apa yang terlihat, melainkan juga yang terdengar. Dan bahkan, sangat kurasakan sekali bahwa suasana tidak hanya meliputi apa yang tampak seperti bulan yang indah, melainkan juga apa yang tidak tampak, misalnya kompatriot-kompatriotku di rumah kos-kosan empat lantai ini, yang ketidakhadirannya jutru ialah bentuk kontribusi mereka terhadap suasana intim yang tercipta. Andai saja mereka hadir sesuai dengan protokol resmi mereka, yakni mengenakan kaos kutang bolong, celana pendek, sendal jepit buluk pusaka keluarga turun-temurun, gitaran, suara false berebutan menyanyi dan merokok, maka tentu darah akan terdorong deras ke ujung pembuluh, menciptakan rasa amat sebal di hati, yang mau tidak mau, sungguh, secara harfiah, hanya bisa diterjemahkan dengan senyum sangat lebar dan tutur kata lemah lembut. Akan tetapi, mereka dengan cerdasnya tidak hadir dan akupun mulai berpikir tentang ‘yang tidak ada’. Betapa sama sekali tidak remehnya kenyataan ini: betapa banyaknya pemandangan hebat yang terjadi ketika semua orang tidur atau lengah, maka apakah kita dapat membayangkan, dapat meng-kognisi, dapat meng-komprehensi, realitas pada saat-saat semacam itu? Kebesaran, kemegahan, keagungan muncul, tetapi semua orang sedang tidur atau lengah. Pikiran tololku hanya dapat bertanya-tanya, ‘untuk apa kalau begitu?’ Apa yang terjadi di dasar palung Mariana di Pasifik, atau sebuah Supercluster berjarak jutaan tahun cahaya dari bumi, siapa yang menyaksikan? Untuk apa semua drama ini ditayangkan dengan amat teratur episode demi episodenya, tanpa satupun penonton? Masih bisakah orang tidur setelah menyadari hal ini? Semua hal itu, percaya atau tidak, di dalam kerahasiaannya yang tidak akan pernah terbongkar, senantiasa terjadi. Kita tidak akan pernah mengetahuinya, tetapi hal-hal itu tetap ada. Serangga-serangga kolonial yang tidak akan pernah ditemukan keberadaannya, selama beberapa juta tahun terakhir ini tetap setia menjalankan semua kegiatan di dalam masyarakat mereka yang rumit dan tertib. Sementara itu, bintang yang sepuluh milyar tahun yang lalu masih merupakan bintang muda, kini sudah mulai berwarna oranye tua, dan akan segera meledak, dan tak satu orangpun akan pernah mengetahui kisahnya–kisah cintanya mungkin? Sementara itu, suatu kaum yang memiliki akal sangat tinggi, barangkali setinggi kaum kita sendiri, menjalani kehidupannya di semesta yang tidak terjangkau, tidak mengetahui apa-apa tentang sejarah anak-anak Adam. Segala sesuatunya tetap berjalan dengan teratur dalam kesunyian, dan untuk apa? Oh, kekasih, untuk apa? Untuk siapa kamu terus berjalan dengan cara jalanmu yang konyol itu, wahai semut kekasihku?

Untuk beberapa lama, kuterima dengan amat terbuka semua tawaran dari beranda itu, akses yang diberikannya kepada pemandangan agung di pelupuk mataku, dan pemandangan lain yang lebih agung di baliknya, dan dibaliknya lagi dan seterusnya. Tidak ada yang coba kusia-siakan, tidak ada yang coba kupercepat dan tidak ada yang kulakukan penuh kegusaran dan ketidaksabaran. Aku sabar dalam menyimak apapun yang mau dikatakan oleh beranda itu, yakni apa yang dengan perasaan meluap-luap dan membuncah-buncah sudah diketahuinya selagi aku masih tidur lelap di kamar ujung, kemudian Ia sendiri yang membangunkanku agar aku bisa mendapatkan kelimpahan dari hikmah kebijaksanaannya yang lebih cerdas daripadaku sendiri. Kudengar semua yang mau disabdakan guru hingga Ia selesai semuanya, tammah. Kemudian, seperti seorang amatir yang paling payah, kuambil air wudhu dan lalu sholat. Sungguh-sungguh aku merasa kesulitan dan kepayahan dalam melakukan setiap bagian dari prosedur-prosedur perilaku yang harusnya amat sederhana itu. Aku wudhu dan wudhu lagi, membasuh wajah dan membasuh lagi. Selalu ada yang terasa tak benar, tetapi tak sungguh terbayang di dalam abstraksiku apa itu. Apa yang dapat kuterjemahkan hanya sebersit perasaan terpisah dari diriku sendiri, terpecah-belah, centang-perenang, ketidaktentuan, keputusasaan, seolah-olah tubuhku berubah menjadi zat gas yang tak solid dan masing-masing bagiannya mengarah ke arah yang berbeda-beda semau-maunya, sehingga aku menjadi takut akan kehilangan diriku. Tetapi, di saat bersamaan, memperumit keadaan, terdapat pula optimisme, harapan, kepercayaan atas kemampuan, penerimaan atas janji yang hebat dan semangat yang tak terkendali. Selalu ada yang hanya dapat secara kabur digambarkan sebagai ‘retak’ dari takbiratul ihram, bacaan al fatihah, ruku’, i’tidal dan sujud. Selalu ada beberapa orang yang sholat, dan masing-masingnya mengarah kepada arah yang berbeda-beda. Lalu, siapakah aku di antara mereka semua, di manakah aku? Di sinilah aku menjadi tersadarkan dari ketololanku, di mana aku dibingungkan oleh kefanaanku sendiri ketika tengah menyembah Allah yang baqa’ (abadi). Ditempatkan diriku di sebuah jalan, di mana aku sama sekali tidak mengetahui seberapa jauh perjalanan untuk pergi, dan seberapa jauh perjalanan untuk kembali. Yang bisa kulakukan hanyalah tetap berjalan dan berharap yang terbaik, selagi aku sholat dalam malam yang sedang berkemas-kemas, sementara terbayang olehku kejemuan dari pagi hari, di mana semua urusan hanya berhubungan dengan manusia. Mengapa malam begitu cepat berlalu? Aku penasaran dengan kisah kunang-kunang itu.

Tinggalkan komentar